Minggu, 22 November 2015

Marxisme : Perspektif Paling Ideal

Marxisme adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Karl Marx (1818-1883) seorang filsuf penganut paham sosialis berkembangsaan Jerman. Teori ini merupakan sebuah bentuk protes atas kapitalisme yang semakin memburuk  (Jackson & Sorensen, 1999:55). Namun, Marxisme tidak semata-mata muncul dengan landasan yang tidak kuat, karena Marxisme memadukan tiga tradisi intelektual dengan sangat serasi dan selaras, yaitu filsafat Jerman, teori politik Perancis, dan ilmu ekonomi Inggris. Para penganut teori Marxisme yang disebut dengan Marxis telah banyak memberikan kontribusi dalam Hubungan Internasional yang memiliki dampak signifikan terhadap politik dunia, dan analisa tentang proses globalisasi. Teori Marxisme memfokuskan pada permasalahan tentang pertentangan kelas, dimana terdiri atas kelas borjuis (memiliki alat-alat produksi) dan kelas proletar (memiliki kekuatan kerja yang dijual kepada borjuis) (Jackson & Sorensen, 1999:239), serta paham ini memiliki fokus tujuan akhir yaitu terciptanya revolusi sosialis. Dalam kasus ini kaum protelar menjadi ajang eksploitasi bagi para kaum borjuis sebagai pihak yang memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari kaum protelar. Praktik ini (perbudakan) mengakibatkan ada kesenjangan sosial yang akan semakin mencolok antara kedua kaum yang saling bertentangan ini jika terus dibiarkan. Sehingga, dalam teori ini Karl Marx mengusulkan untuk adanya penghapusan kaum borjuis dan sistem kelas, serta meninggalkan kapitalisme dan beralih ke sosialisme (merupakan titik awal dari komunisme) yang menawarkan masyarakat tanpa kelas, sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik-konflik.
 Terdapat tiga pandangan Marxisme terhadap kapitalisme yang eksploitatif. Pertama, kapitalisme adalah segala sesuatu yang melibatkan produksi yang bisa dijual belikan untuk hal lain, yang artinya setiap barang memiliki nilai (termasuk jam kerja orang). Kedua, kapitalisme adalah semua hal yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan produksi. Ketiga, pekerja adalah orang yang bebas, akan tetapi untuk bertahan hidup mereka harus menyerahkan tenaganya pada kapitalis, sedangkan kapitalis adalah yang mengatur hubungan produksi sekaligus menentukan laba yang akan mereka berikan kepada pekerja (Hobden & Jones, 2001:203). Pandangan ini yang kemudian menjadi dasar dari reaksi Marxis untuk adanya penghapusan sistem kapitalisme dalam dunia ini, meski dalam posisi ini Marxis tidak mentendensikan bahwa kapitalis dapat berdampak buruk atau tidak. Perkembangan Marxisme selanjutnya memunculkan paham Neo-Marxisme. Neo-marxisme mencoba mengembalikan Marxisme kepada prinsip-prinsip dasar yang selama ini cenderung disalah artikan oleh generasi sesudah Karl Marx. Neo-marxisme memberi kritik terhadap perkembangan yang ada  menggunakan sudut pandang Marxisme, sekaligus menyusun teori yang menyatakan kontribusi mereka terhadap perkembangan tren global (Hobden & Jones, 2001:216). Asumsi dasar dari Neo-Marxisme sendiri tidak jauh berbeda dari Marxisme, karena aliran ini berusaha untuk mengembalikan Marxisme seperti yang dicita-citakan oleh  Karl Marx.
    Namun, terdapat perbedaan yang pada objek kajiannya, dimana Marxisme berkonsentrasi terhadap kelas yang ada di masyarakat, sedangkan Neo-Marxisme lebih kepada pembagian sistem internasional berdasarkan kelas-kelas yang ada dalam World System Theory. World System Theory adalah semacam pembagian negara menjadi negara core, negara periphery dan negara semi-periphery. Pembagian ini muncul akibat keadaan dunia pasca perang besar dunia ( PD I, II, Perang Dingin) dimana terdapat banyak negara baru yang kekuatannya masih sangat jauh dari negara-negara yang sudah ada sejak PD I. Negara core atau negara inti merupakan negara-negara yang dikelompokkan karena negara sudah terbentuk sebelum terjadinya PD  I, negara semi-periphery atau negara dunia ke dua adalah negara yang muncul pasca PD I, dan negara periphery atau negara dunia ke tiga adalah negara yang muncul pasca PD II. Neo-Marxisme juga mengakui adanya teori dependensi, mereka mengkritisi ketergantungan negara-negara yang termasuk negara dunia ke tiga (periphery state) terhadap negara-negara maju pemilik modal dan teknologi negara inti (core state). Negara core bertindak sebagai borjuis dan negara periphery sebagai proletar. Neo-Marxisme sebagai bentuk perkembangan dari Marxisme termasuk dalam great debate ketiga, dimana Neo-Marxisme memiliki pemahaman yang bertolak belakang dengan Neo-liberalisme dan Neo-realisme (Jackosn & Sorensen, 1999:57). Marxisme dan neomarxisme menolak pandangan realis ataupun liberal tentang konflik atau kerja sama negara, tetapi sebaliknya berfokus pada aspek ekonomi dan materi. Hal ini yang kemudian menjadikan Neo-Maxisme dapat menggoyahkan eksistensi dari neo-liberalisme dan neo-realisme. Debat antara 3 paham ini berfokus terhadap IPE atau International Political Economy yang berlangsung antara negara inti, negara dunia kedua, dan negara dunia ketiga. Kontribusi dari Neo-Marxisme dalam Hubungan Internasional adalah mulai timbulnya banyak kesadaran terhadap pentingnya sebuah kesetaraan antar negara-negara didunia ini, sehingga tidak terdapat pihak yang diuntungkan diatas pihak yang dirugikan. Teori Marxisme dikritisi oleh banyak kalangan, melihat bahwa hingga saat ini dapat kita lihat bahwa kelas-kelas sosial tersebut masih terus ada. Dalam dunia hubungan internasional, kita dapat menemukan dominasi dari negara-negara borjuis seperti Amerika Serikat dalam politik internasional. Neo-marxisme sebagai pembaharuan dari marxisme, mengkritik kaum marxis yang menginginkan kelas-kelas yang ada dalam masyarakat dihilangkan, meski itu hampir mustahil untuk diwujudkan (Hobden & Jones, 2001:217). Selain itu, kekurangan marxisme adalah pemfokusan masalah yang hanya terbatas pada lingkup domestik, bukan internasional.

     Dalam artikel kali ini, penulis akan memberikan sebuah studi kasus untuk memahami teori marxisme ini. Bila kita melihat negara kita tercinta Indonesia, yang telah terlalu terpengaruh kedalam sebuah paham yang kejam berasal dari pemikiran-pemikiran barat, yaitu kapitalis. Di indonesia, orang-orang yang kaya akan semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Hal itulah yang sangat ditentang dan dikritisi oleh kaum marxis. Mungkin, bila dahulu program NASAKOM (Nasionalis, Agamis, dan Komunis) yang diprakarsai oleh Presiden Soekarno tidak dibendung dan dihancurkan oleh Soeharto yang ditengarai melibatkan Amerika Serikat demi mengkudeta Presiden Soekarno dan membendung perluasan paham komunis di Asia Tenggara, mungkin saat ini Indonesia akan menjadi negara yang lebih baik dengan tidak adanya perbedaan kelas-kelas sosial antara kaum borjuis dan kaum proletar. PresideN Soekarno telah membaca keadaan ini jauh-jauh hari dengan memprakarsai program tersebut, namun dikarenakan adanya campur tangan dari Amerika Serikat yang merupakan negara superpower tentunya Presiden Soekarno akhirnya jatuh dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia dan negara Indonesia akhirnya jatuh dan terjebak kedalam paham Kapitalisme.
Referensi :

Pengantar Studi Hubungan Internasional ; Robert Jackson & Georg Sorensen ; 1999

1 komentar: