Marxisme
adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Karl Marx (1818-1883) seorang filsuf
penganut paham sosialis
berkembangsaan Jerman. Teori ini merupakan sebuah bentuk protes atas kapitalisme yang semakin memburuk (Jackson & Sorensen, 1999:55). Namun, Marxisme
tidak semata-mata muncul dengan
landasan yang tidak kuat, karena Marxisme
memadukan tiga tradisi intelektual dengan sangat serasi dan selaras, yaitu
filsafat Jerman, teori politik Perancis, dan ilmu ekonomi Inggris. Para
penganut teori Marxisme yang disebut dengan Marxis telah banyak memberikan kontribusi dalam
Hubungan Internasional yang memiliki
dampak signifikan terhadap politik dunia, dan analisa tentang proses globalisasi. Teori
Marxisme memfokuskan pada permasalahan tentang pertentangan kelas, dimana
terdiri atas kelas borjuis (memiliki alat-alat produksi) dan kelas proletar
(memiliki kekuatan kerja yang dijual kepada borjuis) (Jackson & Sorensen,
1999:239), serta paham ini memiliki
fokus tujuan akhir yaitu terciptanya revolusi sosialis. Dalam kasus ini kaum protelar menjadi ajang eksploitasi bagi para kaum borjuis sebagai pihak yang
memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari kaum protelar. Praktik ini (perbudakan) mengakibatkan ada kesenjangan sosial yang
akan semakin mencolok antara
kedua kaum yang saling bertentangan ini
jika terus dibiarkan. Sehingga, dalam teori ini Karl Marx
mengusulkan untuk adanya penghapusan kaum borjuis dan sistem kelas, serta
meninggalkan kapitalisme dan beralih ke sosialisme (merupakan titik awal dari komunisme) yang menawarkan masyarakat tanpa kelas, sehingga
dapat meminimalisir terjadinya konflik-konflik.
Terdapat
tiga pandangan Marxisme terhadap kapitalisme yang eksploitatif. Pertama, kapitalisme adalah segala sesuatu yang
melibatkan produksi yang bisa dijual belikan untuk hal lain, yang artinya
setiap barang memiliki nilai (termasuk
jam kerja orang). Kedua,
kapitalisme adalah semua hal yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan produksi.
Ketiga, pekerja adalah orang yang bebas, akan tetapi untuk bertahan hidup mereka
harus menyerahkan tenaganya pada kapitalis, sedangkan kapitalis adalah yang
mengatur hubungan produksi sekaligus menentukan laba yang akan mereka berikan
kepada pekerja (Hobden & Jones, 2001:203). Pandangan ini yang kemudian
menjadi dasar dari reaksi Marxis untuk adanya penghapusan sistem kapitalisme
dalam dunia ini, meski dalam posisi ini Marxis tidak mentendensikan bahwa
kapitalis dapat berdampak buruk atau tidak. Perkembangan Marxisme selanjutnya memunculkan paham Neo-Marxisme.
Neo-marxisme mencoba mengembalikan Marxisme kepada prinsip-prinsip dasar yang
selama ini cenderung disalah artikan oleh generasi sesudah Karl Marx.
Neo-marxisme memberi kritik terhadap perkembangan yang ada menggunakan sudut pandang Marxisme, sekaligus
menyusun teori yang menyatakan kontribusi mereka terhadap perkembangan tren
global (Hobden & Jones, 2001:216). Asumsi dasar dari Neo-Marxisme sendiri
tidak jauh berbeda dari Marxisme, karena aliran ini berusaha untuk
mengembalikan Marxisme seperti yang dicita-citakan oleh Karl Marx.
Namun,
terdapat perbedaan yang pada objek kajiannya, dimana Marxisme berkonsentrasi
terhadap kelas yang ada di masyarakat, sedangkan Neo-Marxisme lebih kepada
pembagian sistem internasional berdasarkan kelas-kelas yang ada dalam World
System Theory. World System Theory adalah
semacam pembagian negara menjadi negara core, negara periphery dan
negara semi-periphery. Pembagian ini muncul akibat keadaan dunia pasca perang besar dunia ( PD I, II, Perang Dingin) dimana terdapat
banyak negara baru yang kekuatannya masih sangat jauh dari negara-negara yang
sudah ada sejak PD I. Negara core atau negara inti merupakan negara-negara yang
dikelompokkan karena negara sudah terbentuk sebelum terjadinya PD I, negara semi-periphery atau negara dunia ke
dua adalah negara yang muncul pasca PD I, dan negara periphery atau negara
dunia ke tiga adalah negara yang muncul pasca PD II. Neo-Marxisme juga mengakui adanya teori dependensi, mereka mengkritisi
ketergantungan negara-negara yang termasuk negara dunia ke tiga (periphery
state) terhadap negara-negara maju pemilik modal dan teknologi negara inti
(core state). Negara core bertindak sebagai borjuis dan negara periphery
sebagai proletar. Neo-Marxisme sebagai bentuk perkembangan dari Marxisme
termasuk dalam great debate ketiga, dimana Neo-Marxisme memiliki pemahaman yang
bertolak belakang dengan Neo-liberalisme dan Neo-realisme (Jackosn &
Sorensen, 1999:57). Marxisme
dan neomarxisme menolak pandangan realis ataupun liberal tentang konflik atau
kerja sama negara, tetapi sebaliknya berfokus pada aspek ekonomi dan materi.
Hal ini yang kemudian menjadikan Neo-Maxisme dapat menggoyahkan eksistensi dari
neo-liberalisme dan neo-realisme. Debat antara 3 paham ini berfokus terhadap
IPE atau International Political Economy yang berlangsung antara negara inti,
negara dunia kedua, dan negara dunia ketiga. Kontribusi dari
Neo-Marxisme dalam Hubungan Internasional adalah mulai timbulnya banyak kesadaran terhadap pentingnya sebuah
kesetaraan antar negara-negara didunia ini, sehingga tidak terdapat pihak yang
diuntungkan diatas pihak yang dirugikan. Teori
Marxisme dikritisi oleh banyak kalangan, melihat bahwa hingga saat ini dapat kita lihat bahwa kelas-kelas sosial tersebut masih terus ada. Dalam dunia hubungan internasional, kita
dapat menemukan dominasi dari negara-negara borjuis seperti Amerika Serikat
dalam politik internasional.
Neo-marxisme sebagai pembaharuan dari marxisme, mengkritik kaum marxis yang menginginkan
kelas-kelas yang ada dalam masyarakat dihilangkan, meski itu hampir mustahil
untuk diwujudkan (Hobden & Jones, 2001:217). Selain itu, kekurangan
marxisme adalah pemfokusan masalah yang hanya terbatas pada lingkup domestik,
bukan internasional.
Dalam artikel kali ini, penulis akan
memberikan sebuah studi kasus untuk memahami teori marxisme ini. Bila kita
melihat negara kita tercinta Indonesia, yang telah terlalu terpengaruh kedalam
sebuah paham yang kejam berasal dari pemikiran-pemikiran barat, yaitu
kapitalis. Di indonesia, orang-orang yang kaya akan semakin kaya, dan yang miskin
semakin miskin. Hal itulah yang sangat ditentang dan dikritisi oleh kaum
marxis. Mungkin, bila dahulu program NASAKOM (Nasionalis, Agamis, dan Komunis)
yang diprakarsai oleh Presiden Soekarno tidak dibendung dan dihancurkan oleh
Soeharto yang ditengarai melibatkan Amerika Serikat demi mengkudeta Presiden
Soekarno dan membendung perluasan paham komunis di Asia Tenggara, mungkin saat
ini Indonesia akan menjadi negara yang lebih baik dengan tidak adanya perbedaan
kelas-kelas sosial antara kaum borjuis dan kaum proletar. PresideN Soekarno
telah membaca keadaan ini jauh-jauh hari dengan memprakarsai program tersebut,
namun dikarenakan adanya campur tangan dari Amerika Serikat yang merupakan
negara superpower tentunya Presiden Soekarno akhirnya jatuh dari jabatannya
sebagai presiden Republik Indonesia dan negara Indonesia akhirnya jatuh dan
terjebak kedalam paham Kapitalisme.
Referensi
:
Pengantar
Studi Hubungan Internasional ; Robert Jackson & Georg Sorensen ; 1999
hai
BalasHapus