Minggu, 22 November 2015

English School dalam Hubungan Internasional

 Hubungan Internasional adalah sebuah ilmu yang didalamnya terdapat sangat banyak teori-teori yang digunakan oleh para penstudi sebagai perspektifnya dalam melihat dan mengkaji sebuah fenomena internasional khususnya dibidang politik. Namun, teori-teori hubungan internasional tidak hanya berfokus pada bidang politik melainkan dalam semua bidang, termasuk bidang ekonomi,sosial,budaya dan pertahanan/keamanan. Salah satu teori yang berpengaruh dalam hububungan internasional adalah English School. Sebagai teori alternatif, English School telah memberikan berbagai kontribusi penting dalam proses menganalisa hubungan internasional karena peranannya dalam memberikan pemahaman mengenai cara-cara dalam mencapai suatu kesepakatan dalam hal prinsip-prinsip ketertiban dan keadilan internasional sehingga terciptanya sebuah perdamaian dianatara negara-negara tersebut (Andrew Linklater:2001).
 Istilah English School pertama kali di kemukakan oleh seorang ilmuan hubungan internasional yang bernama Roy Jones pada tahun 1981. English school sebagai sebuah tradisi telah muncul sejak tahun 1960an, namun English School sebagai sebuah teori baru diakui pada tahun 1980an. Beberapa ahli mempunyai pendapat tersendiri mengenai pengertian english school ini tetapi pada dasarnya dari masing-masing pendapat tersebut memiliki inti yang sama. Andrew Linklater menyatakan english school adalah sebuah perspektif dalam hubungan internasional yang mengkombinasikan teori dan sejarah, moralitas dan power, serta agensi dan struktur dari teori realisme dan liberalisme. Sementara Dunne mengemukakan pendapatnya bahwa english school adalah sebuah teori yang ditolak oleh teori mainstream di Amerika Serikat karena dianggap hanya sebagai salah satu bentuk dari perkembangan perspektif realisme dan liberalisme saja. Teori english school ini adalah sebuah cabang dari teori-teori hubungan internasional yang berusaha memahami bagaimana negara-negara yang berbeda sifat dan kultur dapat mencapai sebuah kesepakatan dalam hal prinsip-prinsip ketertiban dan keadilan intrenasional guna mencapai perdamaian dunia (Burchill dan Linklater: 2009). Teori ini juga sering disebut “Via Media”, yaitu sebuah perspektif yang berada ditengah-tengah antara kedua teori (realisme dan liberalisme), namun tidak menggabungkan teori tersebut menjadi satu.  Terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai asal muasal pemunculan dari perspektif ini, yang pertama merupakan pandangan yang menyatakan bahwa kemunculan english school berasal dari departemen hubungan internasional disebuah perguruan tinggi di Inggris yang bernama London School of Economics (LSE). Departemen ini memiliki fokus kajian mengenai anarki masyarakat negara sebagai kerangka kelembagaan masyarakat dunia. Yang kedua adalah pandangan yang menyatakan bahwa english school merupakan sebuah perspektif yang muncul diantara tahun 1950an sampai pada tahun 1980an dari proses pembentukan The So-Called British Committee dalam teori politik internasional yang diprakarsai oleh Herbert Butterfield (Linklater: 2011). English school memiliki beberapa sebutan diantaranya yaitu, London School of Economics School, Liberal realisme, rasionalisme, Grotianisme, International Society, dan lain-lain.
 Beberapa asumsi-asumsi yang mendasari perspektif rasionalisme ini adalah yang pertama, rasionalisme melihat negara berhasil menciptakan harmoni dengan negara-negara lain ditengah sistem internasional yang anarki. Kedua, rasionalisme melihat adanya suatu ketertiban yang tinggi yang terbentuk dari negara-negara dengan hasilnya tingkat kekerasan yang rendah diantara negara-negara tersebut dalam anarki internasional. Ketiga, rasionalisme mengakui akan selalu adanya kekerasan dalam hubungan antar negara. Dan yang terakhir, rasionalisme melihat bahwa kekerasan tersebut merupakan suatu feature endemic yang dapat diatur dan dikendalikan melalui adanya hukum dan norma internasional (Burchill:2001). Dari beberapa asumsi yang diusungnya tersebut rasionalisme memiliki fokus kajian mengnai moralitas dan ketertiban internasional. Perspektif english school (rasionalisme) merupakan sebuah perspektif penengah yang memberikan jalan tengah antara teori realisme dan liberalisme (Jackson dan Sorensen:1999). Namun demikian teori ini bukan sebagai penerus dari kedua teori sebelumnya, namun juga memiliki fokus kajian dan analisis tersendiri terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dalam hubungan internasional. Teori english school menganggap hubungan internasional sebagai sebuah masyarakat negara dimana aktor utamanya adalah negarawan, seperti diplomat dan pemimpin negara. Inti dari teori english school ini adalah peningkatan dan pemeliharaan ketertiban internasional. English school tidak menerima maupun menolak sepenuhnya perspektif-perspektif yang diusung oleh realisme dan liberalisme, namun english school memeberikan limitasi dari masing-masing teori tersebut. English school menolak sifat-sifat pesimis yang dimiliki oleh realisme namun juga mneolak sifat terklalu optimis yang dimiliki oleh liberalisme mengenai konsep kemanan dan kestabilan sistem internasional. Banyak pihak yang berpendapat bahwa pemberian nama english school dirasa merupakan pengertian yang terlalu sempit pada teori ini dikarenakan banyak dari para penteorisinya yang bukan berasal dari Inggris, sehingga banyak pihak yang kemudian menyebut perspektif ini sebagai rasionalisme dan juga international society (Jackson dan Sorensen:1999).

 Dalam perspektif english school, terdapat tiga pemikiran yang menjadi dasar hubungan ienternasional, yaitu realisme dengan International Systemnya, rasionalisme dengan International Societynya, dan revolusionalisme dengan world societynya. Realisme merupakan sebuah pandangan yang menekankan dan berkonsentrasi pada aspek anarki internasional dimana tidak ada sebuah entitas yang lebih tinggi daripada negara, dan negara hanya berfokus pada permasalahan pencapaian kekuatan dan kemanan negara. Rasionalisme merupakan sebuah pandangan yang menekankan pada pergaulan internasional dimana menganalogikan negara sebagai manusia yang selalu memakai akal pikiran dan belajar dari kesalahan yang pernah dilakukannya. Kaum rasionalis ini yakin bahwa manusia dalam kehidupan bernegara dapat diatur untuk hidup bersama dan melakukan proses kerjasama dalam sistem anarki melalui adanya ketertiban dan norma yang berlaku. Sedangkan revolusionalisme adalah pandangan yang meneankan pada aspek perastuan moral yang menganggap manusia sebagai makhluk yang sempurna dan memiliki tujuan untuk pemenuhan diri dan kebebasan (Jackson dan Sorensen:1999). Dari konsep tersebut kemudian rasionalisme berusaha untuk menjematani perbedaan yang sangat besarantara realisme dan revolusionalisme tersebut. Terdapat beberapa kritik yang diberikan kepada pemikiran-pemikiran english school oleh perspektif lain, diantaranya yang pertama yaitu kritik yang diberikan oleh realisme yang menyatakan bahwa konsep norma dan moralitas sebagai penentu kebijakan yang diusung oleh english school terlalu lemah dan tidak kuat. Yang kedua merupakan kritik yang dilancarkan oleh liberalisme yang menyatakan pemikiran dari english school mengabaikan politik domestik ; dalam hal ini demokrasi ; dan tidak dapat menjelaskan perubahan progresif dalam politik internasional. Yang terakhir kritik yang diberikan oleh kaum Ekonomi Politik Internasional (EPI) yang menganggap english school gagal dalam memberikan penjelasan mengenai hubungan ekonomi internasional sebagai suatu persamaan kepentingan dalam pelaksanaan hubungan antarnegara (Jackson dan Sorensen:1999).
Referensi :

Pengantar Studi Hubungan Internasional ; Robert Jackson & Georg Sorensen ; 1999

Marxisme : Perspektif Paling Ideal

Marxisme adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Karl Marx (1818-1883) seorang filsuf penganut paham sosialis berkembangsaan Jerman. Teori ini merupakan sebuah bentuk protes atas kapitalisme yang semakin memburuk  (Jackson & Sorensen, 1999:55). Namun, Marxisme tidak semata-mata muncul dengan landasan yang tidak kuat, karena Marxisme memadukan tiga tradisi intelektual dengan sangat serasi dan selaras, yaitu filsafat Jerman, teori politik Perancis, dan ilmu ekonomi Inggris. Para penganut teori Marxisme yang disebut dengan Marxis telah banyak memberikan kontribusi dalam Hubungan Internasional yang memiliki dampak signifikan terhadap politik dunia, dan analisa tentang proses globalisasi. Teori Marxisme memfokuskan pada permasalahan tentang pertentangan kelas, dimana terdiri atas kelas borjuis (memiliki alat-alat produksi) dan kelas proletar (memiliki kekuatan kerja yang dijual kepada borjuis) (Jackson & Sorensen, 1999:239), serta paham ini memiliki fokus tujuan akhir yaitu terciptanya revolusi sosialis. Dalam kasus ini kaum protelar menjadi ajang eksploitasi bagi para kaum borjuis sebagai pihak yang memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari kaum protelar. Praktik ini (perbudakan) mengakibatkan ada kesenjangan sosial yang akan semakin mencolok antara kedua kaum yang saling bertentangan ini jika terus dibiarkan. Sehingga, dalam teori ini Karl Marx mengusulkan untuk adanya penghapusan kaum borjuis dan sistem kelas, serta meninggalkan kapitalisme dan beralih ke sosialisme (merupakan titik awal dari komunisme) yang menawarkan masyarakat tanpa kelas, sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik-konflik.
 Terdapat tiga pandangan Marxisme terhadap kapitalisme yang eksploitatif. Pertama, kapitalisme adalah segala sesuatu yang melibatkan produksi yang bisa dijual belikan untuk hal lain, yang artinya setiap barang memiliki nilai (termasuk jam kerja orang). Kedua, kapitalisme adalah semua hal yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan produksi. Ketiga, pekerja adalah orang yang bebas, akan tetapi untuk bertahan hidup mereka harus menyerahkan tenaganya pada kapitalis, sedangkan kapitalis adalah yang mengatur hubungan produksi sekaligus menentukan laba yang akan mereka berikan kepada pekerja (Hobden & Jones, 2001:203). Pandangan ini yang kemudian menjadi dasar dari reaksi Marxis untuk adanya penghapusan sistem kapitalisme dalam dunia ini, meski dalam posisi ini Marxis tidak mentendensikan bahwa kapitalis dapat berdampak buruk atau tidak. Perkembangan Marxisme selanjutnya memunculkan paham Neo-Marxisme. Neo-marxisme mencoba mengembalikan Marxisme kepada prinsip-prinsip dasar yang selama ini cenderung disalah artikan oleh generasi sesudah Karl Marx. Neo-marxisme memberi kritik terhadap perkembangan yang ada  menggunakan sudut pandang Marxisme, sekaligus menyusun teori yang menyatakan kontribusi mereka terhadap perkembangan tren global (Hobden & Jones, 2001:216). Asumsi dasar dari Neo-Marxisme sendiri tidak jauh berbeda dari Marxisme, karena aliran ini berusaha untuk mengembalikan Marxisme seperti yang dicita-citakan oleh  Karl Marx.
    Namun, terdapat perbedaan yang pada objek kajiannya, dimana Marxisme berkonsentrasi terhadap kelas yang ada di masyarakat, sedangkan Neo-Marxisme lebih kepada pembagian sistem internasional berdasarkan kelas-kelas yang ada dalam World System Theory. World System Theory adalah semacam pembagian negara menjadi negara core, negara periphery dan negara semi-periphery. Pembagian ini muncul akibat keadaan dunia pasca perang besar dunia ( PD I, II, Perang Dingin) dimana terdapat banyak negara baru yang kekuatannya masih sangat jauh dari negara-negara yang sudah ada sejak PD I. Negara core atau negara inti merupakan negara-negara yang dikelompokkan karena negara sudah terbentuk sebelum terjadinya PD  I, negara semi-periphery atau negara dunia ke dua adalah negara yang muncul pasca PD I, dan negara periphery atau negara dunia ke tiga adalah negara yang muncul pasca PD II. Neo-Marxisme juga mengakui adanya teori dependensi, mereka mengkritisi ketergantungan negara-negara yang termasuk negara dunia ke tiga (periphery state) terhadap negara-negara maju pemilik modal dan teknologi negara inti (core state). Negara core bertindak sebagai borjuis dan negara periphery sebagai proletar. Neo-Marxisme sebagai bentuk perkembangan dari Marxisme termasuk dalam great debate ketiga, dimana Neo-Marxisme memiliki pemahaman yang bertolak belakang dengan Neo-liberalisme dan Neo-realisme (Jackosn & Sorensen, 1999:57). Marxisme dan neomarxisme menolak pandangan realis ataupun liberal tentang konflik atau kerja sama negara, tetapi sebaliknya berfokus pada aspek ekonomi dan materi. Hal ini yang kemudian menjadikan Neo-Maxisme dapat menggoyahkan eksistensi dari neo-liberalisme dan neo-realisme. Debat antara 3 paham ini berfokus terhadap IPE atau International Political Economy yang berlangsung antara negara inti, negara dunia kedua, dan negara dunia ketiga. Kontribusi dari Neo-Marxisme dalam Hubungan Internasional adalah mulai timbulnya banyak kesadaran terhadap pentingnya sebuah kesetaraan antar negara-negara didunia ini, sehingga tidak terdapat pihak yang diuntungkan diatas pihak yang dirugikan. Teori Marxisme dikritisi oleh banyak kalangan, melihat bahwa hingga saat ini dapat kita lihat bahwa kelas-kelas sosial tersebut masih terus ada. Dalam dunia hubungan internasional, kita dapat menemukan dominasi dari negara-negara borjuis seperti Amerika Serikat dalam politik internasional. Neo-marxisme sebagai pembaharuan dari marxisme, mengkritik kaum marxis yang menginginkan kelas-kelas yang ada dalam masyarakat dihilangkan, meski itu hampir mustahil untuk diwujudkan (Hobden & Jones, 2001:217). Selain itu, kekurangan marxisme adalah pemfokusan masalah yang hanya terbatas pada lingkup domestik, bukan internasional.

     Dalam artikel kali ini, penulis akan memberikan sebuah studi kasus untuk memahami teori marxisme ini. Bila kita melihat negara kita tercinta Indonesia, yang telah terlalu terpengaruh kedalam sebuah paham yang kejam berasal dari pemikiran-pemikiran barat, yaitu kapitalis. Di indonesia, orang-orang yang kaya akan semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Hal itulah yang sangat ditentang dan dikritisi oleh kaum marxis. Mungkin, bila dahulu program NASAKOM (Nasionalis, Agamis, dan Komunis) yang diprakarsai oleh Presiden Soekarno tidak dibendung dan dihancurkan oleh Soeharto yang ditengarai melibatkan Amerika Serikat demi mengkudeta Presiden Soekarno dan membendung perluasan paham komunis di Asia Tenggara, mungkin saat ini Indonesia akan menjadi negara yang lebih baik dengan tidak adanya perbedaan kelas-kelas sosial antara kaum borjuis dan kaum proletar. PresideN Soekarno telah membaca keadaan ini jauh-jauh hari dengan memprakarsai program tersebut, namun dikarenakan adanya campur tangan dari Amerika Serikat yang merupakan negara superpower tentunya Presiden Soekarno akhirnya jatuh dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia dan negara Indonesia akhirnya jatuh dan terjebak kedalam paham Kapitalisme.
Referensi :

Pengantar Studi Hubungan Internasional ; Robert Jackson & Georg Sorensen ; 1999

Realis : Pendekatan Paling Dominan

Realisme klasik atau yang biasa dikenal dengan Realis dalam teori Hubungan adalah sebuah teori yang paling dominan sejak ilmu Hubungan Internasional ada. Teori Realisme muncul sebagai reaksi kepada pemikiran idealis pada masa perang. Perang Dunia II menjadikan teori ini mencapai puncak kejayaannya karena berhasil membantah pemikiran-pemikiran kaum idealis. Teori ini mengusung beberapa prinsip, diantaranya yang pertama yaitu negara merupakan aktor utama dari hubungan-hubungan antar-negara atau politik internasional. Maka dari itu teori realisme sering disebut sebagai state-sentris theory dalam ilmu hubungan internasional. Kedua yaitu teori realis beranggapan bahwa politik internasional adalah anarki karena sifat dasar manusia yang egois dan anarki. Politik internasional tidak akan pernah bisa diatur oleh siapapun dan wajar bila sering tercipta konflik-konflik antar negara karena hal itu merupakan cara mereka berinteraksi guna menciptakan perdamaian. Politik Internasional juga merupakan tempat untuk para negara-negara yang sebagai aktor utama tersebut untuk menjadi ajang perebutan kekuasaan. Ketiga yaitu kaum realis percaya bahwa kelangsungan hidup atau keeksistensian dari suatu negara tidak akan bisa digantungkan kepada negara lain dan oleh karena itu sebisa mungkin negara dapat mempertahankan eksistensinya sendiri dengan menggunakan unsur-unsur yang dapat menunjang power dari negara tersebut. Akan tercipta perdamaian dalam politik Internasional atau  bahkan dunia jika aktor-aktornya (negara) dapat menciptakan power yang setara antara satu sama lain (balance of power) menurut pandangan teori ini. 
  Teori realisme dipengaruhi oleh beberapa tokoh diantaranya yang  paling besar adalah pandangan Hans J Morgenthau. Karyanya yang begitu fenomenal  berjudul “Politics Among Nations”, ditulis pada akhir Perang Dunia ke II. Pada saat itu Amerika menjadi negara yang memiliki kekuatan atau power di segala  lini yang paling tangguh di kancah internasional. Selain pembahasan dari buku tersebut hanya terpaku pada bahasan tentang perang, akan tetapi di sisi lain buku tersebut juga membahas peranan Amerika Serikat terhadap dunia pasca perang (Scott Burchil & Andrew Linklater 1996: 99). Didalam buku tersebut, melihat dari sekian banyaknya pemikir-pemikir yang membahas mengenai realisme, Morgenthau kemudian mengemukakan enam  prinsip realisme politik yang sangat terkenal hingga saat ini, prinsip-prinsip tersebut antara lain :
1. Politik ditentukan oleh hukum-hukum obyektif yang berakar  pada kodrat manusia.
2. Untuk mengetahui tentang politik internasional tidak terlepas dari  pengertian kekuatan maksudnya   adalah kepentingan yang sangat berkaitan dengan kekuasaan.
3. Bentuk dan sifat kekuasaan negara akan brmacam-macam dalam waktu, tempat dan konteks, tetapi konsep kepentingan masih tetap sama.
4. Prinsip-prinsip moral universal tidak menuntut sikap negara, meski sikap negara jelas akan memiliki implikasi moral dan etika.
5. Tidak ada serangkaian prinsip-prinsip moral yang disetujui secara universal.
6. Secara intelektual, bidang politik itu otonom dari setiap bidang perhatian manusia lainnya, entah bidang-bidang yang lain tersebut bersifat legal, moral atau ekonomi (Hans J Morgenthau 1996: 52-53).
 Selain Morgenthau, pemikir realis klasik yang juga terkenal adalah Thucydides. Pemikirannya mengenai hubungan negara-kota Yunani Kuno (terdiri dari peradaban budaya- bahasa yang dikenal sebagai Hellas). Tidak terdapat kesetaraan dalam hal kekuatan diantara negara-kota yang ada. Setiap negara-kota baik besar atau kecil harus memiliki kemampuan untuk mempertahankan kekuasaannya berdasarkan realitas kekuatan yang berbeda tiap negara-kota. Jika suatu negara-kota tidak bisa mempertahankan negara-kotanya maka tentunya negara-kota tersebut akan hancur, dan sebaliknya jika suatu negara-kota mampu mempertahankan kekuataannya maka negara-kota tersebut bisa bertahan, bahkan sangat mampu untuk menghancurkan negara-kota lainnya yang memiliki kekuatan di  bawahnya (R. Jackson & G. Serensen 2009: 92). Pemikiran Thucydides yang paling terkenal adalah tentang perang Peloponesia yang terjadi dari 431-404 SM. Pemikiran ini berisi tentang dialog penting antara Athena, sebuah negara-kota yang bisa dikatakan kuat pada waktu itu dengan Melos, suatu negara-kota kecil. Mulanya Athena mengajak berunding dengan negara-kota Melos agar bergabung dengan negaranya. Sambil mengancam dengan ancaman agar Melian bisa bergabung. Di saat itu pilihan Melian ada dua, ikut bergabung dengan Athena dan bersedia menjadi budak sebagaimana yang dilakukan Athena terhadap negara-kota kecil lainnya atau malah  bergabung dengan musuh Athena yaitu Sparta, meski belum tentu Sparta akan menjadi mitra yang baik namun Melian meyakini bahwa Sparta lebih baik dari Athena. Akhirnya Melian menolak ajakan bergabung. Sebelum mengetahui jawaban dari Melian, Athena sudah menyiapkan bala tentaranya untuk menyerang Melos. Sehingga pertempuran sengit terjadi antara Athena dengan Melos ( Thucydides 1954: 79).
    Menurut Thucydides, keadilan adalah sesuatu yang relaitf dan ambigu dalam hubungan internasional. Keadilan  bukanlah perlakuan yang sama kepada semua pihak, tapi tentang penempatan yang tepat dan dalam menyesuaikan pada realitas kekuatan yang berbeda. Oleh karena itu, Thucydides membiarkan bangsa Athena untuk menjawab pertimbangan Melian. Meskipun Athena tetap menyerang Melian sebelum menentukan jawabannya (R. Jackson & G. Serensen 2009: 93). Pemikir realisme menjadi salah satu great debate dalam studi HI. Sangakalan dari  pemikir Liberalisme ini terus memperkokoh teorinya berdasarkan fakta yang terjadi pada waktu itu. Realisme yang menitikberatkan pada asusmi mengenai kekuatan, sifat alamiah manusia, perang, dan pesimistis. Sehingga munculah teori baru bernama Neo Realisme, meskipun juga memakai nama Realisme sejatinya Neo Realisme berbeda dengan Realisme.

Referensi :

Pengantar Studi Hubungan Internasional ; Robert Jackson & Georg Sorensen ; 1999

Liberalisme yang Utopis

Salah satu teori besar dalam studi hubungan internasional adalah liberalisme. Sebagai teori terbesar kedua dalam studi hubungan internasional, liberalisme telah banyak memberikan pemikirannya dalam perkembangan hubungan internasional (Wardhani, 2014). Terdapat beberapa pengertian dari liberalisme. Pertama, liberalisme adalah sebuah teori yang menjunjung tinggi kebebasan individu. Disamping itu liberalisme juga diartikan sebagai sebuah teori dari pemerintah, yang berusaha untuk memberikan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat (Dunne, 2001). Lebih lanjut lagi, Jackson and Sorensen (1999) menyatakan bahwa liberalisme adalah suatu perspektif yang memiliki pandangan positif tentang sifat manusia. Tokoh dari liberalisme ini antara lain Woodrow Wilson dan Norman Angell. Liberalisme muncul sebagai adanya rasa trauma atas terjadinya perang dunia. Terdapat tiga asumsi dasar dari liberalisme antara lain yang pertama pandangan positif tentang sifat manusia, yang kedua keyakinan bahwa hubungan internasional dapat bersifat kooperatif atau kerjasama daripada bersifat konflik, dan yang ketiga percaya terhadap kemajuan (Jackson and Sorensen, 1999). Teori ini memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan perspektif lain, yaitu pandangan positifnya pada sifat dasar manusia. Kedua, teori liberalisme percaya bahwa sejarah bisa dirubah. Ketiga, berfokus baik pada tatanan politik internasional maupaun politik domestik, artinya kaum liberal menganggap politik internasional dan politik domestik sama penting. Keempat, berpendapat bahwa ketergantungan ekonomi dapat mengurangi atau bahkan mencegah terjadinya peperangan, dan yang kelima menekankan pada efek positif dalam hubungan internasional.Kaum liberal mengakui sistem internasional berkembang dalam sistem anarki dan individu selalu mementingkan diri sendiri, namun mereka juga percaya bahwa individu-individu memiliki banyak kepentingan bersama dan dengan demikian dapat sama sama melakukan kegiatan kerjasama baik domestik maupun internasional. Liberalis juga tidak hanya menganggap negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional, namun melihat negara dapat bersatu melalui kerjasama dengan negara lain untuk menciptakan suatu perdamaian di dunia. Hal tersebut berasal dari pemikirannya yaitu pada dasarnya masyarakat suatu negara merupakan bagian dari masyarakat global. Dalam perspektif liberalisme, aktor dalam hubungan antarnegara bukan hanya sebatas negara, namun liberalisme juga menganggap pentingnya aktor lain seperti aktor non-negara dalam hubungan antarnegara. Tidak seperti teori realisme, Liberalisme mengusung proses kerjasama antar aktor dalam proses pemenuhan kebutuhan tiap negara. 
      Dalam hubungan internasional, liberalisme menganggap adanya integrasi regional, institusi multilateral, dan kerjasama dalam sistem anarki merupakan hal yang penting. Hal itu terjadi, karena menurut kaum liberal, kerjasama dalam sistem anarki dan integrasi regional dapat mencegah terjadinya peperangan antarnegara, karena ketika satu negara melakukan integrasi dan kerjasama dengan negara lain, maka negara-negara tersebut akan saling mengetahui karakteristik masing-masing negara dan tidak akan terjadi peperangan diantara keduanya. Terdapat tiga bentuk dari liberalisme, yaitu liberal institusionalisme, liberal internationalisme dan idealisme. Pertama liberal institusionalisme. Pemikiran-pemikiran liberal institusionalisme adalah pentingnya pruralisme aktor dalam hubungan internasional seperti MNCs, IGOs, dan NGOs, yang menganggap peran serta aktor non-negara dalam hubungan antarnegara adalah suatu hal yang penting. Kedua liberal internasionalisme, berfokus pada ketergantungan ekonomi antar negara. Liberal internasionalisme menganggap kapitalisme adalah sesuatu yang menguntungkan bagi semua pihak. Inti dari liberal ini adalah menekankan kerjasama ekonomi bagi kemashlahatan manusia. Ketiga, idealisme. Kaum idealis beranggapan bahwa perdamaian di dunia bukan sesuatu yang terjadi secara natural, namun harus diperjuangkan melalui sebuah proses. Idealisme menekankan penggunaan sistem yang sama pada politik internasional dan politik domestic. Liberalisme telah menjadi suatu paham yang besar dengan perannya dalam pembuatan serta penentuan-penentuan hal-hal besar dalam hubungan internasional. Pada abad ke dua puluh pemikiran-pemikiran kaum liberal berperan besar dalam pembuatan berbagai kebijakan yang menyangkut hubungan internasional, Misalnya seperti perannya dalam pembuatan berbagai kebijakan dalam hubungan internasional dalam LBB dan PBB. Dalam menjaga perdamaian dan kestabilan internasional, kaum liberal menggunakan sebuah proses yang disebut collective security, yang menjamin perdamaian dan kebebasan bagi semua pihak. Berbeda dengan konsep aliansi yang diusung realisme untuk memperbesar power, konsep collective security ini lebih menekankan pada proses kerjasama yang saling menguntungkan antarnegara. Selain itu liberalisme juga memiliki sebuah konsep untuk mengusung perdamaian yaitu konsep ideologi demokrasi. Demokrasi dipilih dan digunakan oleh liberalisme karena menurut perspektif ini, demokrasi merupakan sebuah ideologi yang membawa dan mengutamakan perdamaian bagi tiap individu di dalamnya.
         Dalam artikel ini, akan diberikan sebuah studi kasus terbentuknya LBB sebagai hasil dari pengaruh pemikiran kaum liberal. Liga Bangsa-Bangsa didirikan pada 10 Januari 1920, memiliki fungsi utama untuk melucuti senjata, mencegah perang melalui keamanan kolektif, menyelesaikan pertentangan antara negara-negara melalui negosiasi dan diplomasi, serta memperbaiki kesejahteraan hidup global. Gagasan untuk mendirikan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) ini dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat waktu itu, Woodrow Wilson, meskipun Amerika Serikat sendiri kemudian tidak pernah bergabung dengan organisasi ini karena senat dari Amerika Serikat memutuskan bahwa AS adalah negara yang isolasionis. Sejumlah empat puluh dua negara menjadi anggota saat LBB didirikan, dan dua puluh tiga di antaranya tetap bertahan sebagai anggota yang tersisa hingga LBB dibubarkan pada 1946. Antara 1920-1937, dua puluh satu negara masuk menjadi anggota, namun tujuh di antara keduapuluh satu anggota tambahan ini kemudian mengundurkan diri (ada yang dikeluarkan) sebelum 1946. LBB tidak mempunyai angkatan bersenjata dan bergantung kepada kekuatan internasional untuk menjaga agar resolusi-resolusinya dipatuhi. Meskipun awalnya menunjukkan keberhasilan dalam menjalankan tugasnya, LBB akhirnya gagal mencegah berbagai serangan yang dilakukan Kekuatan Poros pada tahun 1930-an. Munculnya Perang Dunia II kembali memperjelas keadaan bahwa LBB telah gagal dalam tugasnya mencegah pecahnya perang. Setelah Perang Dunia II, pada 18 April 1946, LBB resmi dibubarkan dan digantikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.  
Referensi :

Pengantar Studi Hubungan Internasional ; Robert Jackson & Georg Sorensen ; 1999